Gitar Akustik Bekas yang Kupilih: Suara Bagus, Minusnya Jelas
Awal musim hujan tahun lalu aku berjalan melewati deretan lapak barang bekas di Pasar Senen. Tujuan awal hanya cari vinyl murah dan secangkir kopi. Tapi kemudian mata ini tertahan pada sebuah gitar yang tergantung di pojok, finishing sudah pudar, senar kotor. Ada sesuatu yang membuatku berhenti: resonansi kotak yang masih hidup saat pemiliknya mengetuk bodi—suara pendek tetapi jernih. Di saat itu aku tahu, hari ini aku mungkin pulang bukan hanya dengan vinyl.
Pertemuan Pertama: Daya Tarik yang Tiba-tiba
Gitar itu bukan merek top, bukan model vintage yang digoyang banyak cerita. Harganya juga masuk akal: Rp1.200.000. Aku ingat berpikir, “untuk suara seperti ini, mungkin masalahnya cuma setelan.” Lalu aku mulai memainkan beberapa akor G, C, Em—karena itu yang paling aku inget saat grogi—dan suaranya terbuka, menonjol di mid-range dengan sustain yang cukup. Ada kehangatan yang jarang kuba di gitar murah. Seketika itu aku merasa kembali ke masa kuliah di 2012, ketika uang adalah hitungan dan setiap nada harus bernilai.
Pemeriksaan: Apa yang Kupelajari dari Pengalaman
Aku bukan luthier, tapi sudah cukup sering membeli dan mengatur gitar bekas untuk tahu apa yang harus dicari. Pertama, aku lihat leher: straight atau ada bongkok. Kupakai lampu ponsel untuk melihat bayang-bayang fret. Ada sedikit wear di fret ke-5 sampai ke-8—biasanya tanda pemain yang sering bermelodi di posisi itu. Selanjutnya aku buka soundhole, menoleh ke arah bracing; tidak ada retak besar, hanya beberapa lem yang agak terangkat di tepi. Kupanggil penjual, “Boleh dicoba lebih lama?” Dia mengangguk dan aku mulai main lagu-lagu ringan. Untuk menjaga mood, aku streaming beberapa lagu favorit dari cancunradio di kepala agar tidak tegang—musik mengubah cara aku menilai instrumen.
Beberapa hal teknis yang aku periksa: stabilitas tuning, apakah ada buzzing saat bermain barre, aksi senar dari nut ke saddle, dan bagaimana respons di low E. Hasilnya: suara bagus, tapi action agak tinggi (mungkin perlu saddle turun), beberapa fret perlu dressing, dan elektronik internal—jika ada—tidak ada. Penjual bilang senarnya belum ganti dua tahun. Itu tanda merah. Aku menyimpan catatan mental tentang biaya potensial: setelan profesional sekitar Rp300–500 ribu, penggantian senar Rp80–150 ribu, dan kemungkinan kerja fret jika parah.
Nego dan Pembelajaran: Cara Memutuskan Rasional
Nego itu seni. Aku mulai rendah, bukan untuk menang, tapi untuk realistis. “Bagus, tapi butuh perbaikan. Kalau Rp900.000, aku ambil sekarang dan saya urus setelannya,” kataku. Penjual ragu, lalu menawar sedikit turun. Di situ aku melihat nilai: aku tidak membeli hanya gitar, aku membeli potensi. Keputusan ini bukan emosional saja; aku kalkulasikan: suara yang kudapat + biaya setup masih lebih murah dari gitar baru dengan karakter serupa.
Saat membawanya pulang, perasaan campur aduk. Senang karena mendapatkan suara yang kuterima; sedikit khawatir soal kerusakan yang mungkin muncul nanti. Dalam perjalanan pulang aku berbisik keras dalam hati, “Ini investasi kecil. Rawat, dan dia akan balas dengan nada.”
Hasil dan Refleksi: Suara Bagus, Minusnya Jelas
Setelah dua minggu dan satu setup profesional, gitar itu bertransformasi. Action turun, fret dressing membuat permainan terasa mulus, dan senar baru memberi kejernihan yang sebelumnya tertahan. Suaranya? Masih hangat seperti saat pertama ketuk. Tapi minusnya pun nyata: finish yang pudar memberi karakter, tapi juga membuat gitar lebih rentan terhadap kelembapan; fret wear akan muncul lagi kalau sering main di posisi yang sama; dan tanpa preamp internal, konser kecil di kafe memerlukan mikrofon eksternal.
Ada pelajaran yang kuambil: pertama, jangan pernah membeli berdasarkan penampilan saja—dengar dan rasakan. Kedua, hitung biaya perbaikan sebagai bagian dari harga beli. Ketiga, beli karena kamu ingin bermain, bukan karena terlihat keren di rak. Hal sederhana seperti membawa tuner sendiri, meminta izin mencoba lebih lama, dan melihat bagian dalam soundhole bisa menyelamatkanmu dari keputusan buruk.
Sekarang, ketika aku duduk di balkon sore dengan gitar itu, menonton hujan turun perlahan, aku sering berpikir tentang dialog kecil antara aku dan alat ini. Dia punya cerita; aku punya waktu. Minimnya jelas, tapi suaranya membayar lebih dari itu. Dan pada akhirnya, itu yang membuat perjalanan ini pantas dikenang.